FISIOLOGI TUMBUHAN
Salam pertanian! Dalam dunia
pertanian, Zat Pengatur Tumbuh atau sering kita sebut dengan ZPT
mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan untuk kelangsungan
hidup suatu tanaman. Zat pengatur Tumbuh adalah senyawa organik yang bukan hara
yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses
fisiologi tumbuhan.
Zat Pengatur Tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu
Auxin, gibberellin, cytokinin, ethylene dan inhibitor
dengan ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis.
Auxin adalah senyawa yang dicirikan
oleh kemampuannya dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel (cell elongation)
pada pucuk, dengan struktur kimia dicirikan oleh adanya Indole Ring.
Sedangkan yang dimaksud dengan gibberellin adalah senyawa yang mengandung Gibban
skeleton, menstimulasi pembelahan sel (cell division), perpanjangan sel atau
keduanya.
Zat Pengatur Tumbuh Cytokinin adalah
senyawa yang mempunyai bentuk dasar adenine (6-amino purine) yang mendukung
terjadinya pembelahan sel.
Ethylene senyawa yang terdiri dari 2
atom karbon dan 4 atom hidrogen. Dalam keadaan normal ZPT ini akan berbentuk
gas, mempunyai peranan dalam proses pematangan buah dalam fase climacteric.
ZPT yang terakhir adalah Inhibitor
yang berperan dalam penghambatan proses biokimia dan proses fisiologis bagi
aktivitas keempat Zat Pengatur Tumbuh diatas.
Kelima ZPT diatas secara syntetik
telah dibuat untuk keperluan pertanian dan research, yang tentunya akan
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan alam dan pertanian.
Sumber : http://www.gerbangpertanian.com/2010/04/zat-pengatur-tumbuh-tanaman.html
Hormon tumbuhan, atau fitohormon, adalah sekumpulan senyawa organik bukan hara
(nutrien), baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia, yang
dalam kadar sangat kecil mampu mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan, perkembangan, dan pergerakan (taksis) tumbuhan[1]. "Kadar kecil" yang dimaksud berada pada
kisaran satu milimol per liter sampai satu mikromol per liter.
Penggunaan
istilah "hormon" sendiri menggunakan analogi fungsi hormon pada hewan. Namun demikian, hormon tumbuhan tidak dihasilkan dari
suatu jaringan khusus berupa kelenjar buntu (endokrin) sebagaimana hewan, tetapi dihasilkan dari jaringan
non-spesifik (biasanya meristematik) yang menghasilkan zat ini apabila mendapat rangsang. Penyebaran hormon tumbuhan tidak harus melalui sistem pembuluh karena hormon tumbuhan dapat ditranslokasi melalui sitoplasma atau ruang antarsel.
Hormon
tumbuhan dihasilkan sendiri oleh individu yang bersangkutan
("endogen"). Pemberian hormon dari luar sistem individu dapat pula
dilakukan ("eksogen"). Pemberian secara eksogen dapat juga melibatkan
bahan kimia non-alami (sintetik, tidak dibuat dari ekstraksi tumbuhan) yang
menimbulkan rangsang yang serupa dengan fitohormon alami. Oleh karena itu,
untuk mengakomodasi perbedaan dari hormon hewan, dipakai pula istilah zat
pengatur tumbuh tumbuhan (bahasa Inggris: plant growth regulator/substances)
bagi hormon tumbuhan.
Kelompok hormon
Terdapat
ratusan hormon tumbuhan atau zat pengatur tumbuh (ZPT) yang dikenal orang, baik
yang endogen maupun yang eksogen. Pengelompokan dilakukan untuk memudahkan
identifikasi, dan didasarkan terutama berdasarkan efek fisiologi yang sama,
bukan semata kemiripan struktur kimia. Pada saat ini dikenal lima kelompok
utama hormon tumbuhan, yaitu auksin (bahasa Inggris: auxins), sitokinin (cytokinins), giberelin (gibberellins, GAs), etilena (etena, ETH), dan asam absisat (abscisic acid, ABA). Tiga kelompok
yang pertama bersifat positif bagi pertumbuhan pada konsentrasi fisiologis,
etilena dapat mendukung maupun menghambat pertumbuhan, dan asam absisat
merupakan penghambat (inhibitor) pertumbuhan. Selain kelima kelompok itu,
dikenal pula kelompok-kelompok lain yang berfungsi sebagai hormon tumbuhan
namun diketahui bekerja untuk beberapa kelompok tumbuhan atau merupakan hormon
sintetik, seperti brasinosteroid, asam jasmonat, asam salisilat, dan poliamina. Beberapa senyawa sintetik berperan sebagai inhibitor
(penghambat perkembangan).
Auksin
Ada 9 auksin indol, 14
sitokinin, 52 giberelin, tiga asam absisat, dan satu etilena yang dihasilkan
secara alami dan telah diekstraksi orang[1]. ZPT sintetik ada
yang memiliki fungsi sama dengan ZPT alami, meskipun secara struktural berbeda.
Dalam praktik, seringkali ZPT sintetik (buatan manusia) lebih efektif atau
lebih murah bila diaplikasikan untuk kepentingan usaha tani daripada ekstraksi ZPT alami.
Auksin dicirikan sebagai
substansi yang merangsang pembelokan ke arah cahaya (fotonasti) pada bioassay
terhadap koleoptil haver (Avena sativa) pada suatu kisaran konsentrasi.
Kebanyakan auksin alami memiliki gugus indol. Auksin sintetik memiliki struktur
yang berbeda-beda. Beberapa auksin alami adalah asam indolasetat (IAA) dan asam
indolbutirat (IBA). Auksin sintetik (dibuat oleh manusia) banyak macamnya, yang
umum dikenal adalah asam naftalenasetat (NAA), asam beta-naftoksiasetat (BNOA),
asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), dan asam 4-klorofenoksiasetat (4-CPA).
2,4-D juga dikenal sebagai herbisida pada konsentrasi yang jauh lebih tinggi
.
Sitokinin
Golongan sitokinin, sesuai
namanya, merangsang atau terlibat dalam pembelahan sel (cytokinin berarti "terkait
dengan pembelahan sel"). Senyawa dari golongan ini yang pertama ditemukan
adalah kinetin. Kinetin diekstrak pertama kali dari cairan sperma ikan hering, namun kemudian diketahui ditemukan pada tumbuhan dan
manusia. Selanjutnya, orang menemukan pula zeatin, yang diekstrak dari bulir jagung yang belum masak. Zeatin juga diketahui merupakan
komponen aktif utama pada air kelapa, yang dikenal memiliki kemampuan mendorong pembelahan
sel[2]. Sitokinin alami
lain misalnya adalah 2iP.
Sitokinin alami merupakan
turunan dari purin. Sitokinin sintetik kebanyakan dibuat dari turunan purin
pula, seperti N6-benziladenin (N6-BA) dan
6-benzilamino-9-(2-tetrahidropiranil-9H-purin) (PBA).
Giberelin atau asam giberelat
Golongan ini merupakan
golongan yang secara struktur paling bermiripan, dan diberi nama dengan nomor
urut penemuan atau pembuatannya. Senyawa pertama yang ditemukan memiliki efek
fisiologi adalah GA3 (asam giberelat 3). GA3 merupakan substansi
yang diketahui menyebabkan pertumbuhan membesar pada padi yang
terserang fungi Gibberella fujikuroi.
Etilena
Etilena atau etena
merupakan satu-satunya zat pengatur tumbuh yang berwujud gas pada
suhu dan tekanan ruangan (ambien). Selain itu, etilena tidak memiliki variasi
bentuk yang lain. Peran senyawa ini sebagai perangsang pemasakan buah telah
diketahui sejak lama meskipun orang hanya tahu dari praktek tanpa mengetahui
penyebabnya. Pemeraman merupakan tindakan menaikkan konsentrasi
etilena di sekitar jaringan buah untuk mempercepat pemasakan buah. Pengarbitan adalah tindakan pembentukan asetilena (etuna atau gas karbid); yang di udara sebagian akan tereduksi oleh gas hidrogen menjadi etilena.
Berbagai substansi dibuat
orang sebagai senyawa pembentuk etilena, seperti ethephon (asam 2-kloroetil-fosfonat, diperdagangkan dengan nama Ethrel) dan
beta-hidroksil-etilhidrazina (BOH). Senyawa BOH dapat pula memicu pembentukan
bunga pada nanas.
Kalium
nitrat diketahui juga merangsang
pemasakan buah, namun belum diketahui secara pasti hubungannya dengan
perangsangan pembentukan etilena secara endogen.
Inhibitor
Inhibitor alami adalah asam absisat atau ABA. ABA selanjutnya dapat diproses
menjadi bentuk tidak aktif yang disebut sebagai metabolit ABA. Berbagai senyawa
sintetik dibuat dan diperdagangkan untuk menghambat atau menunda proses
metabolisme, seperti MH, (2-kloroetil)trimetilamonium klorida (CCC, merek
dagang Cycocel dan Chlormequat), SADH, ancymidol, asam triiodobenzoat
(TIBA), dan morphactin.
Manfaat
Pemahaman terhadap
fitohormon pada masa kini telah membantu peningkatan hasil pertanian dengan ditemukannya berbagai macam zat sintetik yang
memiliki pengaruh yang sama dengan fitohormon alami. Aplikasi zat pengatur
tumbuh dalam pertanian modern mencakup pengamanan hasil (seperti penggunaan
Cycocel untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap lingkungan yang kurang
mendukung), memperbesar ukuran dan meningkatkan kualitas produk (misalnya dalam
teknologi semangka tanpa biji), atau menyeragamkan waktu berbunga (misalnya
dalam aplikasi etilena untuk penyeragaman pembungaan tanaman buah musiman),
untuk menyebut beberapa contohnya.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hormon_tumbuhan
PERKECAMBAHAN & DORMANSI BIJI
Proses perkecambahan
Perkecambahan diawali dengan penyerapan air dari lingkungan sekitar biji, baik tanah, udara, maupun media lainnya.
Perubahan yang teramati adalah membesarnya ukuran biji yang disebut tahap
imbibisi (berarti "minum"). Biji menyerap air dari lingkungan
sekelilingnya, baik dari tanah maupun udara (dalam bentuk embun atau uap air. Efek yang terjadi adalah membesarnya ukuran biji karena sel-sel embrio membesar) dan biji melunak. Proses ini murni fisik.
Kehadiran air di dalam sel mengaktifkan sejumlah enzim perkecambahan awal. Fitohormon asam absisat menurun kadarnya, sementara giberelin meningkat. Berdasarkan kajian ekspresi gen pada tumbuhan model Arabidopsis
thaliana
diketahui bahwa pada perkecambahan lokus-lokus yang mengatur pemasakan embrio, seperti ABSCISIC ACID
INSENSITIVE 3 (ABI3), FUSCA 3 (FUS3), dan LEAFY
COTYLEDON 1 (LEC1) menurun perannya (downregulated) dan
sebaliknya lokus-lokus yang mendorong perkecambahan meningkat perannya (upregulated),
seperti GIBBERELIC ACID 1 (GA1), GA2, GA3, GAI,
ERA1, PKL, SPY, dan SLY. Diketahui pula bahwa dalam
proses perkecambahan yang normal sekelompok faktor
transkripsi yang
mengatur auksin (disebut Auxin Response Factors,
ARFs) diredam oleh miRNA.[1]
Perubahan pengendalian ini merangsang pembelahan sel di
bagian yang aktif melakukan mitosis, seperti di bagian ujung radikula.
Akibatnya ukuran radikula makin besar dan kulit atau cangkang biji terdesak
dari dalam, yang pada akhirnya pecah. Pada tahap ini diperlukan prasyarat bahwa
cangkang biji cukup lunak bagi embrio untuk dipecah.
Tipe perkecambahan
Berdasarkan posisi kotiledon dalam proses perkecambahan
dikenal perkecambahan hipogeal dan epigeal. Hipogeal adalah pertumbuhan
memanjang dari epikotil yang meyebabkan plumula keluar
menembus kulit biji dan muncul di atas tanah. Kotiledon relatif tetap
posisinya. Contoh tipe ini terjadi pada kacang kapri dan jagung. Pada epigeal hipokotillah yang
tumbuh memanjang, akibatnya kotiledon dan plumula terdorong ke permukaan tanah.
Perkecambahan tipe ini misalnya terjadi pada kacang hijau dan jarak. Pengetahuan tentang hal ini dipakai oleh para ahli agronomi untuk memperkirakan kedalaman tanam.
Dormansi adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang dialami organisme hidup atau bagiannya sebagai tanggapan atas suatu
keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan normal. Dengan demikian, dormansi
merupakan suatu reaksi atas keadaan fisik atau lingkungan tertentu. Pemicu
dormansi dapat bersifat mekanis, keadaan fisik lingkungan, atau kimiawi.
Banyak biji
tumbuhan budidaya yang menunjukkan perilaku ini. Penanaman benih
secara normal tidak menghasilkan perkecambahan atau hanya sedikit perkecambahan.
Perlakuan tertentu perlu dilakukan untuk mematahkan dormansi sehingga benih
menjadi tanggap terhadap kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan. Bagian
tumbuhan yang lainnya yang juga diketahui berperilaku dorman adalah kuncup.
PENYEBAB TERJADINYA DORMANSI
Benih
yang mengalami dormansi ditandai oleh :
- Rendahnya / tidak adanya proses imbibisi air.
- Proses respirasi tertekan / terhambat.
- Rendahnya proses mobilisasi cadangan makanan.
- Rendahnya proses metabolisme cadangan makanan.
Kondisi dormansi mungkin dibawa sejak benih masak secara
fisiologis ketika masih berada pada tanaman induknya atau mungkin setelah benih
tersebut terlepas dari tanaman induknya. Dormansi pada benih dapat disebabkan
oleh keadaan fisik dari kulit biji dan keadaan fisiologis dari embrio atau
bahkan kombinasi dari kedua keadaan tersebut.
Secara
umum menurut Aldrich (1984) Dormansi dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu :
- Innate dormansi (dormansi primer)
- Induced dormansi (dormansi sekunder)
- Enforced dormansi
Sedangkan
menurut Sutopo (1985) Dormansi dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu :
- Dormansi Fisik, dan
- Dormansi Fisiologis
Dormansi
Fisik disebabkan oleh pembatasan struktural terhadap perkecambahan biji,
seperti kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis
terhadap masuknya air atau gas-gas ke dalam biji.
Beberapa penyebab dormansi fisik adalah :
Impermeabilitas
kulit biji terhadap air
Benih-benih yang termasuk dalam type dormansi ini disebut
sebagai "Benih keras" karena mempunyai kulit biji yang keras dan
strukturnya terdiri dari lapisan sel-sel serupa palisade berdinding tebal
terutama di permukaan paling luar. Dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin
dan bahan kutikula.
Resistensi
mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio
Disini kulit biji cukup kuat sehingga menghalangi
pertumbuhan embrio. Jika kulit biji dihilangkan, maka embrio akan tumbuh dengan
segera.
Permeabilitas
yang rendah dari kulit biji terhadap gas-gas
Pada dormansi ini, perkecambahan akan terjadi jika kulit
biji dibuka atau jika tekanan oksigen di sekitar benih ditambah. Pada benih
apel misalnya, suplai oksigen sangat dibatasi oleh keadaan kulit bijinya
sehingga tidak cukup untuk kegiatan respirasi embrio. Keadaan ini terjadi
apabila benih berimbibisi pada daerah dengan temperatur hangat.
Dormansi Fisiologis, dapat disebabkan oleh sejumlah
mekanisme, tetapi pada umumnya disebabkan oleh zat pengatur tumbuh, baik yang
berupa penghambat maupun perangsang tumbuh
Beberapa
penyebab dormansi fisiologis adalah :
Immaturity
Embrio
Pada dormansi ini perkembangan embrionya tidak secepat
jaringan sekelilingnya sehingga perkecambahan benih-benih yang demikian perlu
ditunda. Sebaiknya benih ditempatkan pada tempe-ratur dan kelembapan tertentu
agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrionya terbentuk secara sempurna dan
mampu berkecambah.
After ripening
Benih yang mengalami dormansi ini memerlukan suatu jangkauan
waktu simpan tertentu agar dapat berkecambah, atau dika-takan membutuhkan
jangka waktu "After Ripening". After Ripening diartikan sebagai
setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih selama penyimpanan yang mengubah
benih menjadi mampu berkecambah. Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari
beberapa hari sampai dengan beberapa tahun, tergantung dari jenis benihnya.
Dormansi Sekunder
Dormansi sekunder disini adalah benih-benih yang pada
keadaan normal maupun berkecambah, tetapi apabila dikenakan pada suatu keadaan
yang tidak menguntungkan selama beberapa waktu dapat menjadi kehilangan
kemampuannya untuk berkecambah. Kadang-kadang dormansi sekunder ditimbulkan
bila benih diberi semua kondisi yang dibutuhkan untuk berkecambah kecuali satu.
Misalnya kegagalan memberikan cahaya pada benih yang membutuhkan cahaya.
Diduga dormansi sekunder tersebut disebabkan oleh perubahan
fisik yang terjadi pada kulit biji yang diakibatkan oleh pengeringan yang
berlebihan sehingga pertukaran gas-gas pada saat imbibisi menjadi lebih
terbatas.
Dormansi
yang disebabkan oleh hambatan metabolis pada embrio.
Dormansi ini dapat disebabkan oleh hadirnya zat penghambat
perkecambahan dalam embrio. Zat-zat penghambat perkecambahan yang diketahui
terdapat pada tanaman antara lain : Ammonia, Abcisic acid, Benzoic acid,
Ethylene, Alkaloid, Alkaloids Lactone (Counamin) dll.
Counamin diketahui menghambat kerja enzim-enzim penting
dalam perkecambahan seperti Alfa dan Beta amilase.
Tipe dormansi lain selain dormansi fisik dan fisiologis
adalah kombinasi dari beberapa tipe dormansi. Tipe dormansi ini disebabkan oleh
lebih dari satu mekanisme. Sebagai contoh adalah dormansi yang disebabkan oleh
kombinasi dari immaturity embrio, kulit biji indebiscent yang membatasi
masuknya O2 dan keperluan akan perlakuan chilling.
Cara
praktis meme-cahkan dormansi pada benih tanaman pangan.
Untuk mengetahui dan membedakan/memisahkan apakah suatu
benih yang tidak dapat berkecambah adalah dorman atau mati, maka dormansi perlu
dipecahkan. Masalah utama yang dihadapi pada saat pengujian daya
tumbuh/kecambah benih yang dormansi adalah bagaimana cara mengetahui dormansi,
sehingga diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipersingkat.
Ada
beberapa cara yang telah diketahui adalah :
Dengan
perlakuan mekanis.
Diantaranya
yaitu dengan Skarifikasi.
Skarifikasi mencakup cara-cara seperti mengkikir/menggosok
kulit biji dengan kertas amplas, melubangi kulit biji dengan pisau, memecah
kulit biji maupun dengan perlakuan goncangan untuk benih-benih yang memiliki
sumbat gabus.
Tujuan dari perlakuan mekanis ini adalah untuk melemahkan
kulit biji yang keras sehingga lebih permeabel terhadap air atau gas.
Dengan
perlakuan kimia.
Tujuan dari perlakuan kimia adalah menjadikan agar kulit
biji lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat
seperti asam sulfat, asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji
menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah.
- Sebagai contoh perendaman benih ubi jalar dalam asam sulfat pekat selama 20 menit sebelum tanam.
- Perendaman benih padi dalam HNO3 pekat selama 30 menit.
- Pemberian Gibberelin pada benih terong dengan dosis 100 - 200 PPM.
Bahan kimia lain yang sering digunakan adalah potassium
hidroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat dan Thiourea. Selain itu dapat
juga digunakan hormon tumbuh antara lain: Cytokinin, Gibberelin dan iuxil
(IAA).
Perlakuan
perendaman dengan air.
Perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan
memudahkan penyerapan air oleh benih.
Caranya yaitu : dengan memasukkan benih ke dalam air
panas pada suhu 60 - 70 0C dan dibiarkan sampai air menjadi dingin, selama
beberapa waktu. Untuk benih apel, direndam dalam air yang sedang mendidih,
dibiarkan selama 2 menit lalu diangkat keluar untuk dikecambahkan.
Perlakuan
dengan suhu.
Cara yang sering dipakai adalah dengan memberi temperatur
rendah pada keadaan lembap (Stratifikasi). Selama stratifikasi terjadi sejumlah
perubahan dalam benih yang berakibat menghilangkan bahan-bahan penghambat
perkecambahan atau terjadi pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan.
Kebutuhan stratifikasi berbeda untuk setiap jenis tanaman,
bahkan antar varietas dalam satu famili.
Perlakuan
dengan cahaya.
Cahaya berpengaruh terhadap prosentase perkecambahan benih
dan laju perkecambahan. Pengaruh cahaya pada benih bukan saja dalam jumlah
cahaya yang diterima tetapi juga intensitas cahaya dan panjang hari.
Sumber
: http://id.wikipedia.org/wiki/Dormansi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar